Jangankan dalam dosa, bahkan ibnu Atta'illah berkreasi dalam Hikamnya bahwa ketertenggelaman seorang abid, hamba dalam ibadah pun tak kalah bermasalah.
"...Apabila Al-Haqq (Allah) mengetahui darimu adanya kerakusan (dalam salat) maka Dia menghalangimu pada saat tertentu. Hal itu agar engkau merisaukan penegakan salat, bukan semata mengerjakan salat."
Karena itulah kita senantiasa dituntut beristigfar, memohon ampun kepada-Nya, bukan saja dari perbuatan yang buruk, melainkan pula perbuatan baik yang menimbulkan dampak buruk tanpa kita menyadarinya.
Itulah sebabnya setiap istigfar harus ditambal dengan istigfar lainnya.
Kita menyebutnya sebagai istigfar estafet —istigfar perbuatan, istigfar dampak, istigfar konsekuensi—yang saling bertaut hingga membentuk maraton istigfar.
Maraton yg berjarak panjang, relatif lama, butuh pula energi yang cukup, stamina yang prima, dan kesiapan mental yang tangguh.
—Dr. Mohammed Ayesh dalam KEISTIMEWAAN ISTIGFAR
Konsep istigfar dan makna estafet yang dikandungnya membimbing diri kita agar terjelma hamba yang diisyaratkan di dalam Q.S. Ali Imran: 191,
"yaitu, orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.'"