Ketika satu bulan berselang dari sekembalinya kaum muslimin dari peperangan, terjadilah pemberitaan miring tentang sayyidah ‘Aisyah, istri Rasulullah.
Ahlul ifki telah menuduh sayyidah ‘Aisyah telah melakukan sesuatu yang tidak baik bersama Shafwan bin al-Mu’aththal. dan penyebar fitnah itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Berita miring itu tak terbendung, sampai akhirnya fitnah itu sampai ke telinga Rasulullah Saw., hingga sikap beliau berubah.
Sayyidah ‘Aisyah meminta ijin untuk pulang ke rumah orang tuanya, dan Rasulullah pun mengijinkannya. Hari itu, siang dan malam ‘Aisyah r.a. menangis, ia sabar atas fitnah yang telah menimpa dirinya. “Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku).
Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang mereka ceritakan.” (QS: Yusuf [12]: 18). Akhirnya, pembelaan Allah untuk ‘Aisyah datang dengan turunnya wahyu, surat an-Nur ayat 11-21. Turunnya wahyu ini membuat Rasulullah gembira dan tersenyum.
Setelah turunnya wahyu tersebut, Ummu Ruman ibunda ‘Aisyah berkata, “Bangunlah dan berterima kasihlah kepada Rasulullah.” ‘Aisyah menjawab, “Tidak, demi Allah! Saya tidak akan berterima kasih kepada selain Allah yang telah menolongku dan membersihkan nama baikku.”
Dari situlah kita bisa mempelajari hikmah-hikmah di balik tabir poligami Rasulullah, memahami dan mentauladaninya.