Dalam agama Islam, Hadits merupakan pilar kedua setelah Al-Qur’an. Keduanya merupakan cahaya petunjuk yang mengantarkan terwujudnya kemaslahatan hidup, baik di dunia dan akhirat.
Pada masa Rasulullah, Hadits belum ditulis. Bahkan Rasulullah sendiri melarang sahabat menulis Hadits, karena khawatir akan bercampur dengan catatan Al-Qur’an. Tak ayal, Hadits pada masa ini hanya berada dalam benak dan hafalan para sahabat. Sekalipun ada persoalan yang muncul langsung diserahkan kepada Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat (tahun 11 H/ 632 M), seiring dengan meluasnya wilayah dakwah Islamiyah mulai timbul masalah–masalah baru yang tidak diketemukan jawabannya dalam Al-Qur’an. Di sinilah keberadaan Hadits sebagai penjelas menjadi penting.
Sejak saat itu, para ulama mulai peduli mengumpulkan Hadits dari para sahabat yang jumlahnya semakin berkurang. Geliat pengumpulan dan pembukuan Hadits semakin berkembang setelah masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H).
Sayangnya, akibat perebutan kekuasaan dan politik di antara umat Islam, lahirnya paham-paham keagamaan dan balas dendam kelompok Zindiq, bertebaranlah cerita-cerita Israiliyyat dan hadits-hadits palsu yang penuh fitnah.
Hingga datang masa melemahnya daulah Islamiyah, yakni masa mulai bermunculannya orang-orang yang sengaja meremehkan kemuliaan Hadits. Mereka adalah kelompok orientalis dan pengikut paham menyimpang yang menolak Hadits.
Mereka mencederai kemuliaan sahabat Rasulullah, hingga menghina para imam Ahli Hadits. Padahal mereka yang melontarkan tuduhan itu bukanlah orang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang mumpuni di bidang Hadits.