Lahir dalam lingkungan abdi dalem keraton Yogyakarta, Atmojoewana justru tak ingin mengikuti jejak ayahnya, dia ingin memiliki usaha sendiri. Sejak kecil dia menjual rumput dan kayu bakar.
Keuletan dan sikap mandiri Atmojoewana menarik minat seorang juragan batik Kauman, Haji Ibrahim, Atmojoewana pun mendapatkan bimbingan khusus dari Haji Ibrahim untuk mengembangkan bisnis batik, pada kemudian hari, kualitas hubungan mereka meningkat menjadi mertua-menantu.
Bahkan, Haji Ibrahim mengajak Atmojoewana naik haji. Sepulang ibadah haji, Atmojoewana menambahkan nama di depannya, dan itulah nama masyhurnya: Haji Bilal.
Mendirikan perusahaan batik bumiputra pertama di Yogyakarta pada 1912, Haji Bilal menjadi nama dalam jaminan soal kualitas batik. Pesanan datang dari pojok-pojok Nusantara dan luar negeri.
Menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi, buku ini mengajak kita melihat dari dekat bagaimana Haji Bilal membangun perusahaannya, dan bagaimana dia bisa mempertahankan usahanya pada Depresi Besar tahun 1930-an. lalu apa peran Haji Bilal dalam masa revolusi Indonesia?